BAB II
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
I.
Perkembangan Islam di Sumatera
Di Indonesia, kehadiran
Islam secara lebih nyata terjadi sekitar akhir abad 13 M, yakni dengan adanya
makam Sultan Malik al-Saleh, terletak di kecamatan Samudra di Aceh utara. Pada
makam tersebut tertulis bahwa dia wafat pada Ramadhan 696 H/1297 M. Dalam
hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, dua teks Melayu tertua Malik
Al-Saleh digambarkan sebagai penguasa pertama Kerajaan Samudra Pasai (Hill,
1960; Ibrahim Alfian, 1973, dalam artikel Ambary). Tetapi sebenarnya Sejak abad
ke-7 M, kawasan Asia tenggara mulai berkenalan dengan tradisi Islam. Ini
terjadi karena para pedagang muslim, yang berlayar di kawasan ini, singgah
untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di semenanjung
Melayu dan nusantara
Catatan Marco Polo yang
mengunjungi Perlak dan tempat lain di wilayah ini pada 1292 tertulis bahwa pada
proses islamisasi terjadi, persentuhan pedagang muslim dengan penduduk setempat
telah terjadi disana untuk sekian lama hingga sebuah kerajaan Muslim berdiri
pada abad ke-13 M, Samudra pasai. Pendiri kerajaan tersebut bisa dihubungkan
dengan kelemahan kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-12 dan ke-13 M sebagaimana
dituturkan oleh Chou-Chu-Fei dalam catatan Ling Wa-Tai-ta (1178 M)
(Tjandrasasmmita, 13-14).
Berdirinya kerajaan
Samudra Pasai pada abad ke-13 M merupakan bukti masuknya Islam di Sumatera,
selain kerajaan Samudra Pasai juga ada kerajaan
Perlak, dan kerajaan Aceh. pada tahun 1978, peneliti Pusat Riset
Arkeologi Nasional Indonesia telah menemukan sejumlah batu Nisan di situs
Tuanku Batu Badan di Barus. Yang terpenting dari temuan itu adalah makam yang
mencantumkan sebuah nama, yaitu Tuhar Amsuri, yang meninggal pada 19 Safar 602
H, sebagaimana ditafsirkan oleh Ahmad Cholid Sodrie dari pusat Riset Arjeologi
Nasional, tapi ada penafsiran lain yang mengemukakan bahwa Tuhar Amsuri
meninggal pada 19 Safar 972. Tapi dari temuan Arkeologis di barus dikatakan
bahwa batu nisan Tuhar Amsuri tertanggal 602 lebih awal dari batu nisan Sultan
As-Salih yang tertanggal 696 H. Ini berarti jauh sebelum kerajaan Samudra
Pasai, sudah ada masyarakat Muslim yang tinggal di Barus, salah satu tempat di
sekitar pantai barat Sumatera (Tjandrasasmmita,15-16).
Sumatera Utara merupakan salah satu pusat
perniagaan yang terpenting di Nusantara pada abad ke- 7 M. Sehingga Sumatera
Utara menjadi salah satu tempat berkumpul dan singgahnya para saudagar-saudagar
Arab Islam. Dengan demikian dakwah Islamiyah berpeluang untuk bergerak dan
berkembang dengan cepat di kawasan ini.
Hal ini berdasarkan catatan tua Cina yang
menyebutkan adanya sebuah kerajaan di
utara Sumatera namanya Ta Shi yang telah membuat hubungan diplomatic dengan
kerajaan Cina. Ta Shi menurut istilah Cina adalah istilah yang diberikan kepada
orang-orang Islam. Dan letaknya kerajaan Ta Shi itu lima hari berlayar dari
Chop’o (bagian yang lebih lebar dari malaka) di seberang selat Malaka. Ini
menunjukkan Ta Shi dalam catatan tua Cina itu ialah Ta Shi Sumatera Utara,
bukan Ta Shi Arab. Karena, Ta Shi Arab tidak mungkin di capai dalam waktu lima
hari.
Islam semakin berkembang di Sumatera Utara setelah
semakin ramai pedagang – pedagang muslim yang datang ke Nusantara, karena Laut
Merah telah menjadi Laut Islam sejak armada roma dihancurkan oleh armada muslim
di Laut Iskandariyah.
Disamping itu , terdapat satu factor
besar yang menyebabkan para pedagang Islam
Arab memilih Sumatera Utara pada akhir abad ke- 7 M. Yaitu karena
terhalangnya pelayaran mereka melalui Selat Malaka karena disekat oleh tentara
laut/Sriwijaya kerajaan Budha sebagai pembalasan atas serangan tentara Islam
atas kerajaan Hindu di Sind. Maka terpaksalah mereka melalui Sumatera utara
dengan pesisir barat Sumatera kemudian masuk selat Sunda melalui Singapura
menuju Kantun, Cina.
I.1 Kerajaan-kerajaan islam di sumatera
1.
Kerajaan Samudera Pasai
Pedagang Persia, Gujarat, dan Arab pada awal
abad ke-12 membawa ajaran Islam aliran Syiah ke pantai Timur Sumatera, terutama
di negera Perlak dan Pasai. Saat itu aliran Syiah berkembang di Persia dan
Hindustan apalagi Dinasti Fatimiah sebagai penganut Islam aliran Syiah sedang
berkuasa di Mesir. Mereka berdagang dan menetap di muara Sungai Perlak dan
muara Sungai Pasai mendirikan sebuah kesultanan. Dinasti Fatimiah runtuh tahun
1268 dan digantikan Dinasti Mamluk yang beraliran Syafi’i, mereka menumpas
orang-orang Syiah di Mesir, begitu pula di pantai Timur Sumatera. Utusan Mamluk
yang bernama Syekh Ismail mengangkat Marah Silu menjadi sultan di Pasai, dengan
gelar Sultan Malikul Saleh. Marah Silu yang semula menganut aliran Syiah
berubah menjadi aliran Syafi’i. Sultan Malikul Saleh digantikan oleh putranya
yang bernama Sultan Malikul Zahir, sedangkan putra keduanya yang bernama Sultan
Malikul Mansur memisahkan diri dan kembali menganut aliran Syiah. Saat
Majapahit melakukan perluasan imperium ke seluruh Nusantara, Pasai berada di
bawah kekuasaan Majapahit.
1. Sultan Malik as Saleh (Malikul Saleh)
Menurut Marco Polo, Malik Al-Saleh adalah
seorang raja yang kuat dan kaya. Ia merupakan sultan pertama Kerajaan Samudera
Pasai. Awalnya, sang Sultan bernama Merah Silu. Setelah masuk Islam, ia diberi
sebuah nama yang biasa digunakan Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
Konon, dia diangkat menjadi sultan di Kerajaan
Samudera Pasai oleh seorang Laksamana Laut dari Mesir bernama, Nazimuddin
Al-Kamil. Malik Al-Saleh menikah dengan puteri raja Perlak. Hikayat Raja-raja
Pasai menceritakan bagaima Merah Silu memutuskan untuk memeluk agama Islam.
Menurut legenda masyarakat itu, suatu hari
Malik Al-Saleh bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Setelah itulah, ia lalu
memutuskan untuk masuk Islam. Ketika berkuasa, Malik Al-Saleh menerima
kunjungan Marco Polo. Menurut Marco Polo, Malik Al-Saleh menghormati Kubalai Khan
- penguasa Mongol di Cina.
Konon, seorang putera Malik Al-Saleh ada yang
memutuskan untuk hijrah menyeberangi lautan menuju Beruas (Gangga Negara). Di wilayah
itu, sang pangeran mendirikan kesultanan. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan
makam Malik Al-Saleh berada di desa Beuringin, Kecamatan Samudera, sekitar 17
km sebelah Timur Lhokseumawe.
2.
Sultan Malikul Zahir, (meninggal tahun 1326)
Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin
yang sangat mengedepankan hukum Islam. Dibawah kekuasannya Samudera Pasai
mencapai kejayaannya. Di bawah kekuasaannya, Samudera Pasai mencapai
kejayaannya.
Menurut catatan Ibnu Batutta (seorang musafir yang
ahli hukum Islam), Al-Zahir merupakan penguasa yang memiliki ghirah belajar
yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat,
pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi
antara ulama dan elite kerajaan.
Bagi Ibnu Batutta, Al-zahir adalah salah satu dari
tujuh raja yang memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang luar biasa itu
antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang
disebutnya sangat ramah; raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja
Turki dikaguminya karena gagah perkasa;Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja
Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam,
serta raja Turkistan.
Sebagai raja, Al-zahir juga merupakan sosok yang
sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir
miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak
pernah bersikap jumawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat
menyambut rombongan Ibnu Battuta.
Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain,
sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa. Untuk mengenangnya,
di makamnya terpatri kata-kata penghormatan: yang mulia Malik Al-Zahir, cahaya
dunia sinar agama.
3.
Sultan Ahmad Malikul Zahir atau Al Malik Jamaluddin, meninggal tahun 1383
4.
Sultan Zainal Abidin, meninggal tahun 1405
5.
Sultanah Bahiah (puteri Zainal Abidin), sultan ini meninggal pada tahun 1428.
2. Kerajaan
Aceh
Kerajaan Aceh didirikan
Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah melepaskan diri dari kekuasaan
Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin
al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan
berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan
menentang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah
datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta
ijin berdagang di Aceh.
Penggantinya adalah Sultan
Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada
masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli
perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda
digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh
mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang
berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman,
Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
Gejala kemunduran Kerajaan
Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Thani
(Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah
menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan
dalam negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang
singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum
syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan
dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani
ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang pesat. Kemajuan ini
didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari
Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar
Sani. Maka dari itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan.
Pada masa ini terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan
golongan agama (Teungku).
Seusai Iskandar Sani, yang
memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang sultanah (sultan perempuan)
berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam
(1641-1675), janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu
Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah
Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum
wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali. Ketika
Sultanah Safiatuddin Tajul Alam berkuasa, di Aceh tengah berkembang Tarekat
Syattariah yang dibawa oleh Abdur Rauf Singkel. Sekembalinya dari Mekah tahun
1662, ia menjalin hubungan dengan Sultanah, dan kemudian menjadi mufti Kerajaan
Aceh. Abdur Rauf Singkel dikenal sebagai penulis. Ia menulis buku tafsir
Al-Quran dalam bahasa Melayu, berjudul Tarjuman al-Mustafid (Terjemahan Pemberi
Faedah), buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di Indonesia. Pada
tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam
Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris,
Thomas Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan
oleh Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia
tengah digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818,
Raffles yang ketika itu berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang
dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi
sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam.
Pada tahun 1824, pihak
Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London, Inggris. Traktat London
ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan praktik
kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera,
Belanda kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua tahun kemudian, tahun
1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda adalah karena Aceh selalu
melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan
dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di
antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh ini baru
berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang orang-orang
Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah
berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr.
Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada
tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.
3. Kerajaan Malaka
Sesungguhnya, Kerajaan
Malaka ini tidak termasuk wilayah Indonesia, melainkan Malaysia. Namun, karena
kerajaaan ini memegang peranan penting dalam kehidupan politik dan kebudayaan
Islam di sekitar perairan Nusantara, maka Kerajaan Malaka ini perlu dibahas
dalam bab ini. Kerajaan Malaka (orang Malaysia menyebutnya Melaka) terletak di
jalur pelayaran dan perdagangan antara Asia Barat dengan Asia Timur. Sebelum
menjadi kerajaan yang merdeka, Malaka termasuk wilayah Majapahit.
Pendiri Malaka adalah
Pangeran Parameswara, berasal dari Sriwijaya (Palembang). Ketika di Sriwijaya
terjadi perebutan kekuasaan pada abad ke-14 M, Parameswara melarikan diri ke
Pulau Singapura.
Dari Singapura, ia
menyingkir lagi ke Malaka karena mendapat serangan dari Majapahit. Di Malaka ia
membangun pemukiman baru yang dibantu oleh orang-orang Palembang. Bahkan Parameswara
bekerja sama dengan kaum bajak laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal dagang
yang melewati Selat Malaka untuk singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan
surat jalan.
Untuk melindungi
kekuasaannya dari raja-raja Siam di Thailand dan Majapahit dari Jawa, ia
menjalin hubungan dengan Kaisar Ming dari Cina. Kaisar Ming inilah yang
mengirimkan balatentara di bawah pimpinan Laksamana Cheng-Ho pada tahun 1409
dan 1414. Dengan demikian, Parameswara berhasil mengembangkan Malaka dengan
cepat. Kemudian, Malaka pun mengambil alih peranan Sriwijaya dalam hal
perdagangan di sekitar Selat Malaka. Selat Malaka pada waktu itu merupakan
Jalur Sutera (Silk Road) perdagangan yang dilalui oleh para pedagang dari Arab,
Persia, India, Cina, Filipina, dan Indonesia.
Parameswara mulai resmi
memerintah Malaka pada tahun 1400. Menurut catatan Tome Pires, Parameswara
memeluk Islam setelah menikah denan puteri raja Samudera Pasai pada usia 72
tahun. Setelah itu, Parameswara bergelar Muhammad Iskandar Syah. Namun, menurut
Sejarah Melayu, pengislaman Malaka berlangsung setelah Sri Maharaja, raja
pengganti Parameswara, berkenalan dengan Sayid Abdul Aziz dari Jedah, Arab.
Setelah masuk Islam, Sri Maharaja bergelar Sultan Muhammad Syah. Sebagian
sejarawan bahkan beranggapan bahwa ia merupakan raja Malaka yang pertama
muslim. Pendapat lain menyatakan, Malaka diislamkan oleh Samudera Pasai. Sri
Maharaja memerintah dari tahun 1414 hingga 1444. Ia lalu digantikan oleh Sri
Parameswara Dewa Syah, dikenal juga dengan nama Ibrahim Abu Said. Parameswara
Dewa Syah hanya memerintah satu tahun, hingga 1445. Yang kemudian menjadi raja
adalah Sultan Muzaffar Syah atau Kasim. Pada masanya Malaka mencapai masa
keemasannya. Ketika itu, wilayah Malaka melingkupi Pahang, Trengganu, Pattani
(sekarang termasuk wilayah Thailand), serta Kampar dan Indragiri di Sumatera.
Sultan ini memerintah
hingga tahun 1459. Ia digantikan oleh Sultan Mansur Syah, dikenal juga sebagai
Abdullah. Mansur Syah memerintah Malaka sampai tahun 1477. Jabatan sultan
diserahkan kepada Sultan Alauddin Riayat Syah yang memerintah hingga 1488. Masa
kejayaan Malaka langsung sirna sejak pasukan Portugis menyerang Malaka pada
tahun 1511. Portugis yang dipimpin langsung oleh Alfonso de Albuquerque, dengan
mudah mengalahkan pertahanan Malaka. Portugis segera membangun benteng
pertahanan. Salah satu benteng peninggalan Portugis yang masih tersisa hingga
kini adalah Benteng Alfamosa. Seabad kemudian, Portugis hengkang dari Malaka
karena serangan pasukan VOC dari Belanda. Orang Belanda pun tak lama berkuasa
atas Malaka karena kemudian Inggris mengambil alih kekuasaan atas Malaka.
II.
Perkembangan Islam di Pulau Jawa
Sejarah penyebaran agama
Islam di Pulau Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran sembilan ulama penyebar
Islam yang dikenal sebagai “Wali Songo”. Mereka mengembangkan agama Islam
antara abad ke-14 hingga abad 16, menjelang dan setelah runtuhnya kerajaan
Majapahit. Para wali itu tak hanya berperan sebagai mubalig yang mengajarkan
kaidah Islam kepada masyarakat dan pembesar kerajaan, tetapi juga menjadi
masyarakat dan pendamping raja. Karenanya, mereka diberi gelar “Sunan”
(susuhunan atau junjungan), yaitu gelar para raja di Jawa. Bukti kebesaran Wali
Songo terlihat antara lain melalui peninggalan-peninggalan mereka berupa
bangunan, kesenian, dan tradisi Islam di sepanjang pesisir Jawa, mulai dari
Gresik di Jawa Timur. Demak di Jawa Tengah hingga Cirebon dan Banten di Jawa
Barat. Contohnya, masjid Demak yaitu masjid tertua di Pulau Jawa yang didirikan
para Wali.
II.1 Pendekatan Budaya Islam di Pulau Jawa
Dalam menyiarkan agama Islam, Wali Songo
menggunakan cara yang tidak dirasakan asing oleh masyarakat. Mereka memakai
bentuk kesenian tradisional sebagai media dakwah dengan menyisipkan napas Islam
di dalamnya. Sunan Kalijaga mengembangkan wayang purwa, yakni wayang kulit
bercorak Islam. Sunan Drajat menciptakan tembang Jawa yang hingga kini masih
digemari, yaitu tembang pangkur. Sunan Kalijaga menciptakan corak batik
bermotif burung (kukula) yang mengandung ajaran etik agar seseorang selalu
menjaga ucapannya. Sunan Bonang menghasilkan Suluk Sunan Bonang atau Primbon
Sunan Bonang, yaitu catatan-catatan pendidikan yang dimainkan dalam bentuk
prosa.
II.2 Wali Songo di Pulau Jawa
Sunan Muria. Ia banyak berjasa dalam menyiarkan
agama Islam di pedesaan, terutama di sekitar Gunung Muria, Jawa Tengah.
Sunan Ampel. Wali ini adalah perancang
kerajaan Islam pertama di Jawa (kesultanan Demak) dan pembina pondok pesantren
pertama di Jawa Timur. Murid-muridnya antara lain adalah Raden Fatah (sultan pertama kesultanan Demak),
Sunan Giri, Sunan Drajat, dan putranya sendiri: SunanBonang.
Sunan Bonang. Ia banyak melakukan siar Islam
melalui budaya. Ia terkenal sebagai pencipta gending pertama untuk menyebarkan
agaman Islam di pesisir Jawa Timur.
Sunan Kalijaga. Jasanya dalam
menyebarkan Islam melalui kesenian terlihat dari seni wayang, gamelan, ukir,
busana, dan sastra yang diciptakannya,
Sunan Gresik. Ayah dari Sunan Ampel ini dikenal
juga dengan nama Maulana Magribi (Syeikh Magribi) karena diduga berasal dari
wilayah Magribi, Afrika Utara. Ia diyakini sebagai pelopor penyebar Islam di
Jawa yang memiliki kemampuan menentukan cara yang tepat dalam menarik simpati
masyarakat terhadap Islam.
Sunan Drajat. Wali ini sangat banyak memberi perhatian
pada masalah-masalah sosial. Tema Dakwahnya selalu berorientasi pada
kegotongroyongan.
Sunan Giri. Ia seorang penduduk yang berjiwa
demokratis. Ia mendidik melalui permainan yang berjiwa agama, misalnya melalui
permainan “cublak-cublak suweng”.
Sunan Gunung Jati. Ia dikenal sebagai pendiri dinasti
raja-raja Cirebon dan Banten, Jawa Barat. Ia adalah peletak dasar bagi
pengembangan Islam dan perdagangan orang Islam di Banten tahun 1525/1526.
Sunan Kudus. Panglima Kesultanan Demak
dan pendiri masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, ini dikenal sebagai wali yang
ahli dalam bidang ilmu agama.
II.3
Kerajaan Islam di Pulau Jawa
- Kesultanan
Demak
Masjid Agung
Demak yang dibangun menggunakan gaya arsitek Jawa tradisional
Kerajaan Demak adalah kesultanan
islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478.
Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan
Majapahit, dan terpecah menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa
dan Indonesia pada umumnya.
Pada saat
kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi
kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris
tahta Majapahit. Pada masa itu arus
kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng
Pengging. Sementara Raden Patah mendapat
dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti
Jenar.
A. Kehidupan Politik Kerajaan Demak
a. Raden Patah
Raden Patah
dianggap sebagai pendiri dari kerajaan Demak dan merupakan orang yang
berhubungan langsung dengan kerajaan Majapahit. Salah satu bukti menyebutkan
bahwa beliau adalah putra dari raja Brawijaya V dari Majapahit (1468-1478).
Beliau memerintah dari tahun 1500-1518. Di bawah pemerintahnya, Demak mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal itu disebabkan Demak memiliki daerah
pertanian yang sangat luas sebagai penghasil bahan makanan terutama beras. Oleh
karena itu, Demak menjadi kerajaan agraris-maritim.
Wilayah
kekuasaan Demak tak hanya sebatas pantai utara Jawa, seperti Semarang, Jepara,
Tuban, dan Gresik tapi hingga ke Jambi dan Palembang di Sumatera timur.
Wali Sanga sangat membantu dalam
penyebaran agama Islam di Jawa
Kerajaan Demak berkembang sebagai
pusat perdagangan dan sebagai pusat penyebaran agama Islam. Jasa para wali
dalam penyebaran agama Islam sangat besar, baik di pulau Jawa maupun
daerah-daerah di luar Pulau Jawa, seperti penyebaran agama Islam ke daerah Maluku
dilakukan oleh Sunan Giri, ke daerah Kalimantan Timur dilakukan oleh seorang
penghulu dari Demak yang bernama Tunggang Parangan. Pada masa pemerintahan
Raden Patah, dibangun masjid Demak yang pembangunan masjid itu dibantu oleh
para wali atau sunan.
Akan tetapi, ketika Kerajaan Malaka
jatuh ke tangan Portugis tahun 1511 M, hubungan Demak dan Malaka terputus.
Kerajaan Demak dirugikan oleh Portugis dalam aktivitas perdagangan.
b. Pati Unus
Pada tahun 1513 Raden Patah
memerintahkan Pati Unus memimpin pasukan Demak untuk menyerang Portugis di
Malaka. Serangan itu belum berhasil, karena pasukan Portugis jauh lebih kuat
dan persenjataannya lengkap. Atas usahanya itu Pati Unus mendapat julukan
Pangeran Sabrang Lor.
Setelah Raden Patah wafat, tahta
Kerajaan Demak dipegang oleh Pati Unus. Ia memerintah Demak dari tahun
1518-1521 M. Masa pemerintahan Pati Unus tak begitu lama karena ia meninggal
dalam usia yang masih sangat muda dan tak meninggalkan seorang putra mahkota.
Walaupun usia pemerintahannya tak begitu lama, namun namanya cukup dikenal
sebagai panglima perang yang memimpin pasukan Demak menyerang Portugis di
Malaka.
c. Sultan Trenggana
Sultan
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah
Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti
merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan
mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan
(1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur
pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah,
pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana.
Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan
Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.
B. Kesultanan Pajang
Dengan pemindahan pusat
pemerintahan dari Demak ke Pajang maka berdirilah Kesultanan Pajang di dekat
Surakarta sekarang. Sultan Adiwijaya sebagai sultan pertama. Baginda mulai membangun
kerajaannya mulai dari nol.
Dalam perkembangannya
Kesultanan Pajang mempunyai ciri yang berbeda dengan Kesultanan Demak.
Kesultanan Demak bercirikan budaya pesisiran yaitu lebih demokratis, tidak
menciptakan hubungan bertingkat-tingkat antara satu status dengan status lain,
lebih rasional, dan mengutamakan nilai Islam murni. Adapun Kesultanan Pajang
lebih bercirikan budaya pertanian dan pedalaman. Ciri-cirinya adalah penuh
dengan pandangan mistik, tidak rasional, menciptakan hubungan bertingkat antara
orang penting dengan orang tidak penting, feodalistik, mencampurkan antara
nilai-nilai kejawen, Hindu-Buddha, dan Islam.
Sultan Adiwijaya memerintah sampai dengan 1582 M.
Beliau menyerahkan kekuasaan kepada Aryo Pangiri, menantunya (penguasa Demak).
Aryo Pangiri adalah anak Pangeran Prawoto atau cucu Sultan Trenggono. Aryo
Pangiri lalu mengangkat Pangeran Benowo, anak Adiwijaya menjadi Bupati Jipang,
sebuah wilayah di bawah Kesultanan Pajang.
Pangeran Benowo sangat
kecewa pada Aryo Pangiri karena hanya diangkat sebagai bupati. Pangeran Benowo
merasa berhak menjabat sebagai sultan menggantikan ayahnya. Ia lalu minta
bantuan pada Sutawijaya, saudara angkatnya yang berkuasa di Mataram untuk
melawan Aryo Pangiri. Duet Pangeran Benowo dan Sutawijaya akhirnya dapat
mengalahkan Aryo Pangiri. Dalam perkembangan berikutnya, Sutawijaya mendominasi
pemerintahan Pajang. Ia memang lebih cakap dan lebih berani daripada Sultan
Benowo yang lebih cenderung sebagai kiai/ulama. Menyadari kelemahannya, Sultan
Benowo lalu mengundurkan din dari kehidupan politik. Ia lalu menekuni profesi
sebagai juru dakwah agama Islam. Ia menyerahkan takhta kepada Sutawijaya.
Sutawijaya kemudian mengangkat Gagak Bening. Pajang akhirnya sepenuhnya di
bawah kendali Mataram.
C. Kesultanan Mataram
Kesultanan Mataram didirikan oleh Senopati atau
Sutawijaya pada 1582 M. Pusat kekuasaannya terletak di daerah selatan
Yogyakarta sekarang. Semula ia hanyalah bawahan Pajang. Ia diangkat oleh Sultan
Adiwijaya untuk membina masyarakat di daerah Mataram. Setelah Adiwijaya wafat,
ia menguasai Pajang dengan cara pertama membantu Pangeran Benowo mengalahkan
Aryo Pangiri dan kedua mengganti Pangeran Benowo dengan Gagak Bening. Melalui
cara ini, ia lalu menjadikan Pajang sebagai wilayah di bawah kekuasaannya dan
mengangkat diri sebagai Sultan Mataram.
Sutawijaya membangun Kerajaan Mataram dan nol. Masa
pemerintahannya disibukkan oleh upaya menstabilkan pemerintahannya. Ia
menghadapi perlawanan dari para bupati pesisir seperti Demak, Tuban, Pasuruan,
dan Surabaya. Akan tetapi, ia dapat menyelesaikan dengan baik kecuali Surabaya.
Sutawijaya wafat pada 1601 M. Ia digantikan oleh Mas
Jolang atau Panembahan Krapyak, anaknya. Mas Jolang mewarisi pemerintahan yang
belum stabil. Meskipun Madiun dan Kediri yang ikut memberontak sudah bisa
ditundukkan tapi Surabaya belum mau tunduk. Ia sempat minta bantuan pada VOC,
kongsi dagang Belanda di Batavia, untuk membantu menundukkan Surabaya tapi
tidak mendapat tanggapan.
Raden Mas Jolang/Panembahan Krapyak wafat pada 1613 M.
Ia digantikan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sultan Agung berhasil membangun
Mataram menjadi kerajaan besar yang stabil dan kuat. Ia dapat menundukkan
Surabaya. Dengan demikian, seluruh wilayah Jawa bagian timur berada di bawah
kekuasaannya.
Baginda mempunyai ambisi yang kuat untuk menguasai
seluruh Jawa. Oleh karena itu, Sultan Agung ingin menundukkan Banten,
kesultanan yang masih merdeka, dan Batavia yang sudah dikuasai oleh Belanda
melalui bendera VOC.
Sultan Agung sangat benci pada VOC, karena VOC
melakukan praktik monopoli perdagangan yang sangat merugikan Mataram dan rakyat
pada umumnya. Oleh karena itu, beliau bertekad mengusir VOC dari tanah Jawa.
Untuk merealisasikan tekadnya tersebut, beliau melakukan persiapan penyerangan
yang matang. Beliau melatih prajurit-prajurit yang handal dan sakti mandraguna,
memilih panglima perang yang handal, dan melengkapi prajurit dengan
persenjataan yang cukup.
Di samping itu, beliau juga mempersiapkan bahan pangan
yang cukup sebagai persiapan untuk peperangan jangka panjang/memakan waktu
lama. Sebelum penyerangan dilakukan, beliau mengirim ribuan petani untuk
membuka lahan pertanian di sepanjang garis pantai mulai dari Kendal sampai
Bekasi. Beliau memberi perintah kepada para petani tersebut untuk membuat lumbung-lumbung
padi di daerah masing-masing sebagai cadangan bahan pangan bagi prajurit
Mataram yang akan menyerang VOC.
Pada 1628 pasukan Sultan Agung melancarkan serangan ke
Batavia melalui darat. VOC sangat kewalahan atas serangan yang dilancarkan dari
berbagai arah ini. J.P Coen, Gubernur Jenderal VOC tewas dalam peristiwa ini.
Belanda segera minta bantuan tentara dari Maluku. Dengan pasukan yang lebih
besar, Belanda dapat melancarkan serangan balik. Pasukan Mataram mundur ke
daerah Bekasi. Akan tetapi, betapa terkejutnya mereka ketika mendapatkan
cadangan berasnya telah terbakar habis. Tampaknya para pengkhianat telah
membocorkan rencana ini kepada Belanda. Akibatnya tentara Mataram tidak bisa
bertahan lama. Serangan pertama ini gagal.
Sultan Agung tidak putus asa. Pada 1629 Sultan
melancarkan serangan lagi kepada Belanda di Batavia. Belajar dan kegagalan
serangan pertama, kali ini beliau membuat strategi baru. Tentara Mataram
melancarkan serangan melalui laut. Tampaknya Allah swt belum berkehendak memberi
kemenangan pada pasukan Sultan Agung ini. Serangan kedua pun gagal.
Setelah Sultan Agung wafat pada 1646 Kesultanan
Mataram berangsur-angsur mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena adanya
perebutan kekuasaan di kalangan istana dan campur tangan Belanda dalam
pengangkatan sultan.
Sultan Agung berjasa dalam memadukan budaya Jawa
dengan Islam. Kalender Jawa yang berdasarkan peredaran matahari diganti dengan
dasar peredaran bulan (hijriah). Nama-nama bulan dan han Jawa disesuaikan
dengan nama bulan dan hari dalam penanggalan hijniah. Beliau menyalin
kitab-kitab syariat ke dalam bahasa Jawa. Beliau juga membuat kesenian Jawa
yang bernapaskan Islam.
D. Kesultanan Cirebon dan Banten
Kesultanan didirikan oleh Fatahillah. Fatahillah
adalah panglima perang Kesultanan Demak. Ia juga menantu Sultan Trenggono. Saat
Sultan Trenggono berkuasa di Demak, ia memerintahkan Fatahillah menyebarkan
Islam ke arah barat pulau Jawa di samping untuk membendung pengaruh Portugis
yang sudah menjalin kerja sama dengan Kerajaan Hindu Pajajaran. Hal ini harus
dilakukan karena pada 1522 Portugis telah datang di Pajajaran di bawah pimpinan
Henrique Leme mengajak kerja sama perdagangan dan membendung pengaruh Islam
Demak.
Pada 1526 Demak mengirimkan pasukan ke Cirebon di
bawah pimpinan Fatahillah. Misi ini membawa hasil gemilang. Cirebon dapat
ditaklukkan dalam waktu singkat karena mendapat bantuan dan masyarakat yang
sudah memeluk Islam. Fatahillah lalu melanjutkan ekspedisi ke Banten. Di Banten
pun Fatahillah mendapatkan kemenangan yang gilang gemilang. Dan Banten, ia
kemudian melancarkan serangan kepada Portugis yang menguasai pelabuhan Sunda
Kelapa (sekarang bernama Jakarta). Pada 22 Juni 1527 pasukan Fatahillah dapat
mengalahkan pasukan Portugis yang dipimpin oleh Francisco de Sa. Nama Sunda
Kelapa lalu diubah menjadi Jayakarta, yang artinya kota kemenangan.
Fatahillah kemudian menjadi Sultan Cirebon. Akan
tetapi, setelah berusia 60 tahun beliau lebih banyak mencurahkan perhatian pada
kegiatan dakwah Islam. Beliau wafat dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di
Gunung Jati Cirebon.
Kesultanan diserahkan pada anak turunnya. Akan tetapi,
keadaannya makin mundur. Pada zaman Mataram, Kesultanan Cirebon dikuasai
Mataram. Kemudian oleh Susuhunan Mataram diserahkan kepada VOC Belanda.
Adapun Kesultanan Banten mengalami banyak kemajuan
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mencapai puncak
kejayaannya Sultan Ageng sangat berkeinginan mengusir Belanda dari Batavia yang
sejak 1602 berhasil merebut Jayakarta dan mengubahnya menjadi Batavia Sultan
sangat tidak senang pada Belanda karena memaksakan sistem monopoli perdagangan.
Di pihak lain, Belanda juga ingin menaklukkan Sultan
Ageng karena menolak monopoli perdagangan. Demi mencapai maksud ini, Belanda
melakukan politik devide et impera, adu domba lalu kuasai. Belanda lalu merayu
Sultan Haji, anak Sultan AgengTirtayasa untuk melawan ayahnya dengan imbalan
akan dinaikkan takhta. Sultan Haji terbujuk rayuan Belanda tersebut. Ia lalu
memberontak kepada ayahnya sendiri dengan bantuan Belanda. Sultan Ageng
menyerah dan ditangkap oleh Belanda. Beliau lalu dibawa ke Batavia dan
meninggal di sana pada 1680 M.
III.
Perkembangan Islam di Sulawesi
Masuknya
Islam di Sulawesi, tidak terlepas dari peranan Sunan Giri di Gresik. Hal itu
karena sunan Giri melaksanakan pesantren yang banyak didatangi oleh santri dari
luar pulau Jawa, seperti Ternate, dan Situ. Di samping itu, beliau mengirimkan
murid-muridnya ke Madura, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara.
Pada abad ke-16, di Sulawesi Selatan telah berdiri
kerajaan Hindu Gowa dan Tallo. Penduduknya banyak yang memeluk agama Islam
karena hubungannya dengan kesultanan Ternate. Pada tahun 1538, Pada masa
Pemerintahan Somba Opu, kerajaan Gowa dan Tallo banyak dikunjungi oleh pedagang
Portugis. Selain untuk berdagang, mereka juga bermaksud untuk mengembangkan
agama katolik. Akan tetapi, Islam telah lebih dahulu berkembang di daerah itu.
Agama Islam masuk ke Sulawesi sejak abad ke-16, sejak
masa kekuasaan Sombayya Ri Gowa I Mangngarrangi Daeng Mangrabia Karaeng Lakiung
Sultan Alauddin Awalul Islam raja Gowa ke-14. tetapi baru mengalami
perkembangan pesat pada abad ke-17 setelah raja-raja Gowa dan Tallo menyatakan
diri masuk Islam. Islam dinyatakan resmi sebagai agama kerajaan Gowa pada
tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H / 20 September 1605 M. Raja Gowa yang pertama
masuk Islam ialah Daeng Manrabia yang berganti nama Sultan Alauddin Awwalul
Islam, sedang Raja Tallo yang pertama masuk Islam bergelar Sultan Abdullah. Di
antara para muballigh yang banyak berjasa dalam menyebarkan dan mengembangkan
agama Islam di Sulawesi, antara lain:
Katib
Tunggal,
Datuk Ri
Bandang,
Datuk
Patimang,
Datuk Ri
Tiro, dan
Syekh Yusuf
Tajul Khalwati Tuanta Samalaka
Dakwah Islamiyah ke Sulawesi berkembang terus sampai
ke daerah kerajaan Bugis, Wajo, Sopeng, Sindenreng, dan lain-lain. Suku Bugis
yang terkenal berani, jujur dan suka berterus terang, semula sulit menerima
agama Islam. Namun berkat kesungguhan dan keuletan para mubaligh, secara berangsur-angsur
mereka menjadi penganut Islam yang setia.
Pelaut-pelaut Bugis berlayar menjelajah seluruh
Indonesia sampai ke Aceh. Di antara mereka adalah pembesar Bugis bernama Daeng
mansur yang di Aceh lebih dikenal dengan panggilan Tengku di Bugis. Salah seorang
puterinya bernama Puteri Sendi. Ia dikawinkan dengan Sultan Iskandar Muda, raja
besar Aceh. Sejak itu hubungan antara Aceh – Bugis sangat erat, sehingga banyak
pengaruh budaya Aceh di Bugis. Tampaknya hubungan perdagangan yang diperkuat
dengan hubungan kekerabatan yang berdasarkan agama Islam itu telah memperkokoh
hubungan persatuan antara penduduk di seluruh wilayah Indonesia
III.1 Kerajaan Islam di Sulawesi
- Gowa-Tallo
Gowa-Tallo biasanya disebut dengan kerajaan Makasar.
Makasar ialah nama suku bangsanya, sedangkan kerajaannya bernama Gowa-Tallo.
Tallo merupakan kerajaan yang berbatasan dengan Gowa, namun dua kerajaan ini
selalu bersatu, sehingga mereka menjadi kerajaan kembar. Letak kerajaan
Gowa-Tallo di Semenanjung barat daya pulau Sulawesi yang sangat stategis
dilihat dari sudut perdagangan rempah-rempah di kepulauan Nusantara.
Rempah-rempah dari Maluku di perdagangkan di pelabuhan Gowa-Tallo, yang dibawa
oleh pedagang-pedagang Makassar dari Maluku.
Para pedagang Jawa, Bugis, dan Melayu mulai membawa
barang dagangannya ke Gowa-Tallo. Kerena sikap raja yang tidak pandang agama,
maka kerajaan Gowa-Tallo disinggahi oleh bermacam-macam bangsa, baik bangsa
Asia maupun Eropa. Semenjak Makasar tampil sebagai pusat perdagangan laut,
kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan kerajaan Ternate yang merupakan
pusat cengkeh, yang telah menerima Islam dari Gresik/Giri.
Dibawah Sultan Babullah Ternate mengadakan perjanjian
persahabatab dengan Gowa-Tallo. Ketika ini raja Ternate mengajak penguasa
Gowa-Tallo masuk Islam, tetapi gagal. Pada masa Dato’ ri Bandang datang ke
Kerajaan Gowa-Tallo, agam Islam mulai masuk dalam kerajaan ini. Raja Gowa yang
pertama menganut Islam ialah Sultan Alauddin sedangkan raja Tallo yang pertama
mengambil gelar Abdullah dengan julukan Awalul Islam.
Tahun 1607, Sultan Alauddin mengeluarkan dekrit untuk
menjadikan Ilam sebagai agama resmi kerajaan dan masyarakat. Dwitunggal
Alauddin dan Abdullah ini sangat giat mengislamkan rakyat mereka dan juga
memperluas daerah kerajaan mereka. Sehingga kerajaan Islam yang pertama di
Sulawesi Selatan itu menguasai tidak hanya meliputi sebagian besar Sulawesi dan
pulau-pulau sekitarnya melainkan sampai dibagian Tumur Nusa Tenggara. Kerajaan
kembar Gowa-Tallo menyampaikan pesan Islam kepada kerajaan-kerajaan lain di
Sulawesi yang belum menganut agama Islam seperti, kerajaan luwu yang lebih tua
menerima pesan Islam tersebut dengan baik.
Namun, tidak semua penyebaran agama Islam di Sulawesi
ini berjalan dengan lancar, ada beberapa kerajaan yang belum bisa menerima
pesan tersebut deperti, kerajaan Wojo, Soppeng, dan Bone, tiga kerajaan ini
terikat dalam hegemoni dengan Gowa-Tallo. Walaupun demikian Wojo dan Soppeng
menerima ajakan, dan disertai ancaman dari Gowa-Tallo, tetapi Bone yang
merupakan kerajaan bugis terbesar menolak.
Gowa-Tallo akhirnya melancarkan ekspedisi militer ke
Bone, perang pun meletus ditahun 1611. Dalam perperangan ini Gowa-Tallo menang
dalam penyebaran Islam. Dari keterangan di atas bisa dilihat bahwa Sultan dari
kerajaan Gowa-Tallo sangat memegang tradisi yang mengatakan bahwa seorang raja
harus memberikan hal baik kepada orang lain, dengan menyampaikan pesan Islam
keberbagai daerah di Sulawesi, sehingga Islam dapat berkembang dengan luas di
wilayah ini.
Mundurnya
Kerajaan Makassar dan Bugis
Pada masa pemerintahan Hasanuddin (1653-1669), Belanda
mulai menyebar di daerah ini. Sultan Hasanuddin berusaha untuk menjaga
kedaulatan dan kerajaan Makassar dari cengkraman Belanda. Belanda sangat
membenci Kesultanan Makassar karena, Sultan selalu mengirim angkatan laut untuk
mengawal para pedagang yang berangkat dari Makassar menuju Maluku, sehingga
pedagang Makassar diluar pengawasan Belanda.
Terjadi beberapa kali perperangan antara Sultan
Hasanuddin dengan Belanda. Akhirnya Sultan bersedia melakukan perjanjian damai
di Batavia. Setelah perjanjian tesebut, Sultan kembali membangun pertahanan
dengan mengerahkan ribuan prajurit dari suku Makassar, Bone, Soppeng dan
lain-lain. Namun dalam perperangan ini Sultan Hasanuddin kehilangan seorang tokoh
Bugis yaitu, Arung Palakka.
Arung Palakka bersatu dengan Belanda untuk membebaskan
suku Bugis dari kekuasaan Makassar. Pada tahun 1666 terjadi perang
besar-besaran antara Kesultanan Makkasar yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin
dan Belanda dipimpin oleh Cornelis Speelman yang dibantu oleh Arung Palakka.
Belanda dan Arung Palakka berhasil mengalahkan Sultan Hasanuddin. Pada tahun
1667, Sultan Hasanuddin terpaksa melakukan perjanjian dengan Belanda,
perjanjian ini sangat merugikan Kesultanan Makassar.
Karena tidak puas dengan perjanjian ini maka, pada
tahun 1668 kembali terjadi perperangan antara Kesultanan Makassar dan Belanda,
akhirnya benteng pertahanan terakhir Sultan Hasanuddin dapat dikuasai oleh
Belanda. Sehingga pada tahun 1670 Sultan Hasanuddin wafar, pengganti Sultan
Hasanuddin tidak mampu lagi mengangkat kejayaan Kesultanan Makassar, karena
selalu diawasi Belanda. Jatuhnya Makassar ketangan ketangan Belanda, maka
pelaut dan pedangan Bugis dan Makassar migrasi keberbagai wilayah Nusantara.
IV.
Perkembangan Islam di Kalimantan
Pada abad XVI,
Islam memasuki daerah kerajaan Sukadana. Bahkan pada tahun 1590, kerajaan
Sukadan resmi menjadi Giri Kusuma. Sunan Giri digantikan oleh putranya Sultam
Muhammad Syarifuddin. Beliau banyak berjasa dalam mengembangkan agama Islam
karena bantuan seorang mubalig bernama syaikh Syamsuddin. Sebagai Mubalig,
mereka tidak menyia-nyiakan waktu untuk berdakwa. Islam akhirnya dapat memasuki
kerajaan Kutai dan tersebar di Kalimantan Timur pada permulaan abad XVI M.
Para ulama
awal yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang
terus menerus mengalir. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal
dengan Borneo kala itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu.
Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo
adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan
Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin
menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami
pesisir Barat Kalimantan.
Jalur lain
yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari
Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan
Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan
dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan
ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al
Banjari.
Di Kalimantan
Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum
terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses
pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic
state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua
adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara
Daha.
Terbentuknya
Negara Dipa dan Negara Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara
Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara
lslam mulai masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru
ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara
kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar
pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
Zaman keemasan
Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa itu
terjadi puncak perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana ditandai
oleh lahirnya Ulama-ulama Urang Banjar yang terkenal dan hasil karya tulisnya
menjadi bahan bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari
Berbeda dengan
Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis
mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebar-luasan Islam di wilayah pedalaman
Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas,
keluar-masuk hutan me-nyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu
beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.
Islam masuk
Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatera Utara dan
Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada
sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan
Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam
perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya,
Pangeran Samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan
diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan
Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab. Dengan berdirinya
Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara.
Namun
demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan
penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu.
Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di
kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada
ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua
kalimah syahadat.
Di bawah para
sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak
ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara
intensif di kalangan penduduk Kalimantan.
Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan
terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses
Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan
gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.
Pengembangan
Islam di Kutai dilakukan oleh dua orang muslim dari makassar yang bernama Tuan
di Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, dengan cepat islam berkembang di Kutai,
termasuk raja mahkota memeluk islam. Kemudian pengembangan islam dilanjutkan ke
daerah-daerah pedalaman pada pemerintahan Aji di Langgar. Pada tahun 1550 M, di
Sukadan (Kalimantan Barat) telah berdiri kerajaan islam. Ini berarti jauh
sebelum tahun itu rakyat telah memeluk agama islam, Adapun yang meng-islamkan
daerah Sukadana adalah orang Arab islam yang datang dari Sriwijaya. Di Sukadana
Sultan yang masuk islam adalah Panembahan Giri Kusuma (1591) dan Sultan Hammad
Saifuddin (1677).
IV. Kerajaan
yang ada di Kalimantan
I.
Kerajaan Banjar(Banjarmasin)
Kerajaan Banjar merupakan kerajaan Islam di Pulau
Kalimantan, tepatnya Kalimantan Selatan. Tidak ada yang tahu pasti sejarah
berdirinya Kerajaan Banjar, namun ada sumber yang menyatakan bahwa, kerajaan
Banjar berdiri tahun 1520 tetapi menjadi kerajaan Islam baru enam tahun
kemudian (1526 M). Kerajaan Banjar sudah muncul sejak kerajaan-kerajaan
bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang pusatnya di hulu
sungai Nagara. Kerajaan Dipa pernah menjalin hubungan dengan Majapahit,
sebagaimana tercatat dalam kitab Nagarakartagama.
Menurut Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin, konon
diceritakan bahwa kemunculan Kerajaan Banjar tidak lepas dari melemahnya
pengaruh Daha sebagai kerajaan yang
berkuasa saat itu. Tepatnya pada saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha,
menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Daha kepada
cucunya yang bernama Raden Samudra. Hal tersebut menimbulkan perpecahan/konflik
antara Tumenggung yang merupakan anak Raden Sukarama dengan Raden Samudra.
Setelah Raden Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung merebut kekuasaaan dari
pewaris yang sah yaitu Raden Samudra dan merebut tahta kekuasaan Negara Daha.
Raden Samudra sebagai pihak yang kalah melarikan diri
dan bersembunyi di daerah hilir sungai barito. Dia dilindungi oleh kelompok
orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut
kampung Oloh masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati Masih. Lama
kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota Banjarmasin karena ramainya
perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian
politiknya, Raden Samudera melihat potensi Banjarmasin dengan sumber daya
manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat,
yaitu Daha. Kekuatan Banjarmasin untuk melakukan perlawaann terhadap Daha
akhirnya mendapat pengakuan formal setelah komunitas melayu mengangkat Raden
Samudera sebagai raja, tepatnya dinobatkan
oleh Patih Masih, Muhur, Balit, dan Kuwin.
Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden
Samudra minta bantuan kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan dan sejak
itulah Raja Samudra menjadi pemeluk Islam tanggal, 24 September 1526 bertepatan
6 Zulhijjah 932 H dengan gelar Sultan Suryanullah/Suriansyah, dari kata surya
(matahari) dan syah (raja). Sedangkan yang mengajarkan ajaran Islam kepada
Raden Samdra, Patih, dan rakyatnya adalah seorang penghulu Demak. Menurut
sumber lain tepatnya A.A Cense Islamisasi terjadi tahun 1550 M. Sultan
Suryanullah meluaskan wilayah kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana,
Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda daerah taklukan
biasanya mengirimkan upeti kepada Sultan Suryanullah.
Tahun 1546 Sultan Suryanullah wafat dan digantikan
oleh anak tertuanya yaitu Sultan Rahmatullah yang masih mengirimkan upeti ke
Demak. Tahun 1570 Sultan Rahmatullah digantikan oleh putranya yang bergelas
Sultan Hidayatullah. Patih-patih yang menobatkan Raden Samudra telah tiada,
untuk mangkubumi Raden Hidayatullah adalah Kyai Anggadipa. Tahun 1595 Raden
Hidayatullah meninggal dan digantikan oleh Sultan Marhum yang bergelar Sultan
Mustain Billah. Sultan inilah yang memindahkan ibukota kerajaan ke Amuntai.
Masa pemerintahan Sultan Mustain Billah
pada awal abad 17 ditakuti oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya dan dapat
menghimpun 50.000 prajurit. Begitu kuatnya kerajaan Banjar, sehingga dapat membendung
pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram, di samping menguasai
daerah-daerah kerajaan Kalbar, Kaltim dan Kalteng. Tanggal 07 Juni 1607
Banjarmasin kedatangan pedagang Belanda Gillis Michielse-zoon diundang ke
darat, tetapi akhirnya dibunuh dan kapalnya dirampas. Kemudian Keraton/ibu kota
ke sebelah hulu tepatnya Ke Kayutangi,
Martapura, karena keraton di Kuwin, banjarmasin yang hancur diserang Belanda
pada Tahun 1612 sebagai ajang balas dendam. Perdamaian terjadi lagi tahun 1635
tetapi hubungan tidak lama.
Sejak pengaruh Belanda politik monopoli perdagangan
masuk di Kalimantan Selatan dan terus-menerus terjadi perselisihan baik dengan
pihak Belanda maupun di lingkungan Banjar sendiri, ditambah masalah perdagangan
Inggris. Terutama sejak Abad ke-18 sejak Belanda membuat Benteng di Pulau Tatas
tahun 1747 bahkan pada abad ke-19 , tepatnya tanggal 04 Mei 1826 melalui
kontrak antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultaan Adam, dalam hal ini
Pulau Tatas diserahkan kepada Belanda, juga Daerah Kuwin Selatan, Pulau Burung,
Pulau Bakumpal, dan sebagainya. Abad ke-18 (1710-1812) ulama besar lahir di
Martapura yang bernama Muhammad Arsyad b’abdullah. Sultan Tahlil Allah
(1700-1745) membiayai Arsyad belajar di Haramayn selama beberapa tahun.
Sepulangnya ia mengajarkan fiqih dengan kitabnya Sabil Al-Muhtadin, ia juga
ahli tasawuf dengan karyanya Khaz Al-Ma’rifah.
Sultan Adam wafat tanggal 01 November 1857, pergantian
Sultan-Sultan dengan campur tangan Politik Belanda mulai menimbulkan
pertentangan-pertentangan antara keluarga raja-raja. Lebih-lebih setelah
dihapuskannya kerajaan Banjar oleh Belanda pada masa kekuasaan Sultan Muhammad
Seman. Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda itu terus-menerus terutama tahun
1859-1863 merupakan perjuangan baik rakyat maupun para pahlawan, antara lain
Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman, dan Haji Nasrun. Dan perlawanan
terhadap penjajah Belandaitu sebenarnya terus dilakukan sampai tahun-tahun
selanjutnya.
E.
Perkembangan Islam di Maluku dan sekitarnya
Penyebaran Islam di Maluku tidak terlepas dari jasa
para santri Sunan Drajat yang berasal dari Ternate dan Hitu. Islam sudah
dikenal di Ternate sejak abad ke-15. Pada saat itu, hubungan dagang dengan
Indonesia barat, khususnya dengan Jawa berjalan dengan lancar. Selain
berdagang, para pedagang juga melakukan dakwah.
Selain Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam
juga masuk ke Irian yang disiarkan oleh raja-raja Islam Maluku, para pedagang,
dan para mubalignya.
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal
kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal
berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat
banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja
awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka
maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat
dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad
ke-15.
Kolano
Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui
memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano
Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang
diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya
dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam
diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan
para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku
secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama
di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru
pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan
Bualawa" (Sultan Cengkih).
V. Kerajaan
Islam Di Maluku
V.1 Kerajaan
Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate
(mengikuti nama ibukotanya)
Adalah
salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan
Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257.
Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara
abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di
paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di
masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara,
timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan
Marshall di pasifik.
B.
Kesultanan Tidore
Kesultanan
Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku
Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai
abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera selatan, Pulau
Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Pada tahun
1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk
mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan
Portugis. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663
karena protes dari pihak Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian
Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling independen di wilayah
Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689),
Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi
daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
C.
Kesultanan Bacan
Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan,
Kepulauan Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja
Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Meski berada di Maluku,
wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua. Banyak kepala suku di wilayah
Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi
pemerintahan kerajaan Bacan.
D. Kerajaan
Tanah Hitu
adalah
sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon, Maluku. Kerajaan ini
memiliki masa kejayaan antara 1470-1682 dengan raja pertama yang bergelar Upu
Latu Sitania (raja tanya) karena Kerajaan ini didirikan oleh Empat Perdana yang
ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Kerajaan Tanah Hitu
pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran yang sangat
penting di Maluku, disamping melahirkan intelektual dan para pahlawan pada
zamannya. Beberapa di antara mereka misalnya adalah Imam Ridjali, Talukabessy,
Kakiali dan lainnya yang tidak tertulis di dalam Sejarah Maluku sekarang, yang
beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan ini berdiri sebelum kedatangan imprialisme
barat ke wilayah Nusantara.
Awal mula
kedatangan
Kedatangan
Empat Perdana merupakan awal datangnya manusia di Tanah Hitu sebagai penduduk
asli Pulau Ambon. Empat Perdana Hitu juga merupakan bagian dari penyiar Islam
di Maluku. Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di
Maluku yang di tulis oleh penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam
berbagai versi seperti Imam Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman,
Rumphius dan Valentijn.
ABAD KE-13
Penduduk
lokal Kampung Wawane, Provinsi Maluku, merupakan penganut animisme. Lalu seabad
kemudian, hal tersebut mulai berubah seiring dengan kedatangan pedagang Jawa ke
provinsi ini. Pedagang-pedagang Jawa ini tidak hanya berdagang, namun juga
menyebarkan ajaran Islam. Mereka mencoba mengenalkan Islam kepada masyarakat
lokal di Maluku, dan kepercayaan animisme sedikit demi sedikit mulai memudar di
Kampung ini.
Masjid Tertua di Indonesia
Ada di Maluku
Perkembangan Islam di Maluku selanjutnya ditandai dengan dibangunnya
Masjid Wapaue pada 1414. Masjid ini terletak di kampung Wawane, dan menurut
sejarah setempat mesjid ini dibangun saudagar-saudagar kaya yang bernama Perdana
Jamillu dan Alahulu.
Masjid ini
dinamakan Masjid Wapaue karena
terletak di bawah pohon mangga. Dalam bahasa setempat, "wapa" berarti
"bawah" dan "uwe" berarti mangga. Keseluruhan bangunan
masjid ini terbuat dari kayu sagu yang dilekatkan satu sama lain tanpa
menggunakan paku.
Pada 1614,
masjid ini disarankan untuk dipindahkan lokasinya ke Kampung Tehalla, 6
kilometer dari sebelah timur Kampung Wawane. Relokasi ini dipimpin Imam Rajali,
seorang kyai bersama para pengikutnya yang disebut Kelompok Dua Belas Tukang.
namun, 50 tahun kemudian atau pada 1664, mesjid ini secara ajaib telah
berpindah ke Kaitetu, dan tidak ada seorangpun yang memindahkannya. Para
penduduk setempat percaya hal ini merupakan suatu mukjizat atau keajaiban.
Hingga
kini, Masjid Wapaue ini masih terawat dengan baik. tidak hanya digunakan
sebagai tempat ibadah umat muslim, tapi juga sebagai galeri museum yang berisi
koleksi-koleksi antik peninggalan kebudayaan muslim maluku kuno antara lain
Bedug yang berumur seratus tahun, Al-Quran antik yang ditulis tangan, sebuah
kaligrafi tulisan arab yang ditaruh di sebuah lempengan metal dan sebuah
timbangan kayu yang digunakan untuk menimbang zakat.
Mesjid tua
Wapauwe ini terletak dekat dengan Benteng Amsterdam di desa Kaitetu, Kabupaten
Hila, Provinsi Maluku. Untuk mengunjungi mesjid ini dibutuhkan waktu sekitar
satu jam perjalanan menggunakan bis umum dari Ibukota Maluku, kota Ambon.
BAB III
I. Manfaat
yang dapat diambil dari sejarah perkembangan Islam di Indonesia :
a. Mengetahui dan memahami
sejarah perkembangan Islam di Indonesia
b. Mengetahui dan memahami
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
c. Menjadi cermin untuk memacu
kehidupan yang lebih baik
d. Mempelajari sejarah agar
dapat melakukan perubahan yang lebih baik
e. Menghargai kerja keras para
pahlawan bangsa
f. Kehadiran para pedagang
Islam yang telah berdakwah dan memberikan pengajaran Islam di bumi Nusantara turut
memberikan nuansa baru bagi perkembangan pemahaman atas suatu kepercayaan yang
sudah ada di nusantara ini.
g. Hasil karya para ulama yang
berupa buku sangat berharga untuk dijadikan sumber pengetahuan.
h. Kita dapat meneladani Wali
Songo telah berhasil dalam hal-hal seperti berikut :
1. Menjadikan masyarakat gemar
membaca dan mempelajari Al Quran.
2. Mampu membangun masjid
sebagai tempat ibadah dalam berbagai bentuk atau arsitektur hingga ke seluruh
pelosok Nusantara.
3. Mampu memanfaatkan
peninggalan sejarah, termasuk situs-situs peninggalan para ulama, baik berupa
makam, masjid, maupun peninggalan sejarah lainnya.
4. Seorang ulama atau ilmuwan
dituntut oleh Islam untuk mempraktikkan tingkah laku yang penuh keteladanan
agar terus dilestarikan dan dijadikan panutan oleh generasi berikutnya.
5. Para ulama dan umara
bersatu padu mengusir penjajah meskipun dengan persenjataan yang tidak
sebanding.
3. Cara masuknya Islam di Indonesia
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 atau ke-8 M
yang bertepatan dengan abad ke-1 atau ke-2 H. Rute yang dilewati adalah jalur
Utara dan Selatan.
Z Jalur Utara, dengan rute :Arab (Mekah dan
Madinah) meliputi ; Damaskus – Bagdad – Gujarat – Srilangka – Indonesia
Z Jalur Selatan, dengan rute : Arab (Mekah dan
Madinah) meliputi ; Yaman – Gujarat – Srilangka – Indonesia
Daerah yang mula-mula menerima Agama Islam adalah
Pantai Barat pulau Sumatera. Dari tempat itu, Islam kemudian menyebar ke
seluruh Indonesia. Beberapa tempat penyebarannya adalah :
a. Pariaman di Sumatera Barat
b. Gresik dan Tuban di Jawa
Timur
c. Demak di Jawa Tengah
d. Banten di Jawa Barat
e. Palembang di Sumatera
Selatan
f. Banjar di Kalimantan
Selatan
g. Makassar di Sulawesi
Selatan
h. Ternate, Tidore, Bacan dan
Jailolo di Maluku
i. Sorong di Irian Jaya
Penyebaran Islam di Indonesia yang berjalan secara
damai tanpa menimbulkan kekerasan merupakan cerminan hakikat ajaran Islam yang
menjadi rahmatan lil-alamin.
Adapun penyebaran Islam yang berjalan damai tersebut
menggunakan dua cara, yaitu : Perdagangan dan Perkawinan.
II.
Hikmah perkembangan Islam di Indonesia
Semboyang yang diajarkan
Islam yang berbunyi “Islam adalah agama yang cinta damai, tetapi lebih cinta
kemerdekaan” telah mampu mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan
usaha-usaha mewujudkan kemerdekaan bangsanya dengan berbagai cara. Mula-mula
dengan cara damai, tapi karena tidak bisa lalu dengan cara menempu peperangan.
Allah SWT berfirman, “dan perangilah dijalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.”
Masyarakat Indonesia
dibebaskan dari pemujaan berhala dan pendewaan raja-raja serta dibimbing agar
menghambakan diri hanya kepada Allah, Tuhan yang maha Esa.
Rasa persamaan dan rasa keadilan yang diajarkan islam
mampu mengubah masyarakat Indonesia yang dulunya menganut sistem kasta dan
diskriminasi menjadi masyarakat yang setiap anggotanya mempunyai kedudukan,
harkat, martabat dan hak-hak yang sama.
Semangat cinta tanah air
dan rasa kebangsaan yang didengungkan Islam dengan semboyan”Hubbul-watan
minaliiman” (cinta tanah air sebagian dari iman) mampu mengubah cara berpikir
masyarakat Indonesia, khususnya para pemudanya, yang dulunya bersifat
sectarian (lebih mementingkan sukunya dan daerahnya) menjadi bersifat
nasionalis. Hal ini ditandai dengan lahirnya organisasi pemuda yang bernama
Jong Indonesia pada bulan februari 1927 dan dikumandangkannya sumpah pemuda
pada tanggal 28 oktober 1928.